Langsung ke konten utama

Resensi Film : Tanah Air Beta

Indonesia, tanah air beta, pusaka abadi nan jaya......


Bait awal alunan lagu 'Indonesia Pusaka', karya pujangga Alm. Ismail Marzuki, memang enak didengar, begitu syahduh, menyentuh. Dari sisi vokal saja sudah menggetarkan jiwa, menggugah sanubari. Apalagi, bait kalimat tanah air beta itu divisualisasikan dengan latar drama keluarga, maka akan membuka mata tentang kebangsaan, kecintaan terhadap tanah air, kemanusiaan, kehidupan.

Alenia Pictures mengangkat cerita itu, dalam layar lebar bertajuk "Tanah Air Beta". Film garapan Ari Sihasale ini, dilatarbelakangi kisah pasca proses Referendum tanggal 30 Agustus 1999, 11 tahun lalu, yang berdampak pengungsian warga Timor - Timur (eks NKRI), yang memilih tinggal di tanah airnya, Indonesia. Ratusan ribu pengungsi dengan kondisi dan situasi yang memprihatinkan, menyedihkan terpaksa tinggal di sebuah kamp pengungsian, di daerah Tuapukan dan Uabelo, Nusa Tenggara Timur (NTT).


Di daerah pengungsian itu, nasib para pengungsi mengalami berbagai masalah kehidupan, kemanusian, ketidakadilan. Ada yang bersyukur bisa berkumpul dengan keluarganya. Ada yang kehilangan anggota keluarganya. Ada yang berpisah dengan suami, istri maupun anak. Bagi anak-anak yang belum mengerti tentang kondisi itu, hanya bisa meneteskan air mata, memendam pilu yang mendalam. Kenapa harus hidup dipisahkan? Kenapa sampai terjadi situasi seperti itu? Kenapa harus dipisahkan hubungan erat kakak beradik yang saling mengasihi, saling menyayangi?

Diantara para pengungsi itu, ada kisah menarik yakni seorang ibu bernama Tatiana (Alexandra Gottardo), yang berpisah dengan suami dan anak sulungnya saat terjadi pertikaian Dili. Tatiana bersama anaknya Merry (Griffit Patricia) yang berusia 10 tahun terus mencari keluarga yang terpisah. Tatiana mencari suami tercintanya, dan anaknya Merry mencari kakak Mauro (12 tahun) yang disayanginya dan hidup dengan pamannya di Dili.



Pencarian itu pun sampai ke perbatasan NKRI dan Timor-Timur. Sayang, penjagaan ketat apalagi dipisahkan dengan jembatan air mata (sebuah jembatan yang menjadi perbatasan antara NKRI & Timor Timur), harapannya bisa bertemu dengan sanak keluarganya, ternyata hanya sia-sia. Nasib itu bukan hanya dialami Tatiana dan anaknya namun juga dirasakan para pengungsi lainnya.

Waktu tetap berjalan, Tatiana yang tinggal di rumah pengungsi dalam kondisi mengenaskan. Sebuah rumah kecil, beratapkan jerami, dinding rumah dari bilik yang tak rapat, sehingga memudahkan angin untuk masuk, dan hanya terdiri dari 1 ruangan saja. Ruangan itu ditempati untuk tidur, masak dan aktivitas sehari-hari. Memang, hampir semua rumah di kamp pengungsian ini, mempunyai ciri yang sama dan tak jauh berbeda.

Untul bisa bernafas hidup, Tatiana dengan suka rela sekaligus mengisi kesibukan dengan mengajar di sekolah darurat di kamp pengungsian. Merry, sang anak juga sekolah di tempat itu. Bahkan ada murid bernama Carlo (Yehuda Rumbini), yang sangat jail dan suka menggangu Merry. Alasan mengganggu karena Carlo ingin sekali mempunyai adik seperti Merry dan dapat merasakan kembali cinta kasih keluarga yang terkoyak akibat pertikaian.

Suatu hari dari seorang petugas relawan yang diperankan Lukman Sardi, memberikan kabar gembira kepada Tatiana tentang anak sulungnya yang masih hidup bersama pamannya di Dili. Namun, apakah kabar itu mampu mempersatukan kembali hubungan keluarga itu? Bagaimana nasib suaminya?

Skenario film ini, memang berdasarkan penggalan kisah nyata seorang pengungsi Timor Timur itu, yang asyik ditonton, karena sarat penuh makna tentang keluarga, kebesaran jiwa terhadap tanah airnya, kemanusian, dan kehidupan sebuah keluarga yang tercampakan oleh keadaan.

"Keutuhan keluarga itu penting karena menurut saya sekarang ini masih banyak saudara kita yang hidup dalam pengungsian karena keadaan yang ada sehingga saat kita damai seperti ini kita harus bisa menghargai kebersamaan dan kehangatan keluarga," papar Ari Sihasale.

Diakunya, ada begitu banyak masalah, butuh tempat tinggal yaitu rumah yang layak huni, modal, lahan pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan dasar yaitu makan serta peningkatan gizi. Namun mereka tetap survive dengan kondisi tak layak seperti ini, inilah kehebatan para pengungsi itu di tanah airnya sendiri.

"Negara boleh terpisah, tapi masih ada satu hal yang tetap di hati yaitu hubungan kekeluargaan, ikatan batin, dan ikatan darah dengan mereka yang ada di sana, yaitu keluarga," papar Ari Sihasale, produser spesialis film anak-anak dan keluarga.

Meski dalam kondisi seperti itu, Film Tanah Air Beta berusaha menyelipkan unsur edukasi dengan membudayakan sekaligus mensosialisaikan perilaku hidup bersih dan sehat. Adegan itu dengan menyelipkan beberapa aktivitas kebiasaan mencuci tangan pakai sabun. Saat mandi, mencuci tangan sebelum makan pagi, mencuci tangan sebelum makan siang, mencuci tangan sebelum makan malam, mencuci tangan setelah ke toilet.

Karenanya, film ini mendapat dukungan penuh dari Lifeboy, yang berupaya terus membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di keluarga Indonesia. Lifebuoy melakukan edukasi dan sosialisasi melalui media film dengan memasukkan pesan-pesan kesehatan yang berhubungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat, sambungnya.


Ari Sihasale, sutradara film Tanah Air Beta

Erwin Cahaya Adi, Senior Brand Manager Lifebuoy menjelaskan Lifebuoy terus-menerus secara konsisten dan berkesinambungan mensosialisasikan PHBS melalui berbagai macam program dengan menggunakan media komunikasi beragam, agar dapat menjangkau masyarakat luas demi turut mewujudkan Indonesia lebih sehat.

“Kali ini Lifebuoy mensosialisasikan PHBS melalui layar lebar dalam film Tanah Air Beta, karena ini mengisapkan tentang keluarga hubungan ibu dan anak yang harus hidup di daerah pengungsian yang sangat gersang, panas, suasana kehidupan kemiskinan, kekumuhan dan ketertinggalan daerah namun tetap menjaga kebersihan dan hidup sehat. Kami tertarik dengan penampilan audio dan visual yang hidup, sehingga cukup efektif untuk menyampaikan pesan PHBS,” papar Erwin.

Film ini berkisah tentang keluarga yang tercerai-berai karena perpisahan Timor Leste dari Indonesia. Pengambilan gambar dilakukan langsung di Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia. Dalam film tersebut, Lifebuoy memasukkan pesan-pesan kesehatan yang berhubungan dengan PHBS, antara lain cuci tangan pakai sabun (CTPS) dalam beberapa adegan di film Tanabe.

Pesan PHBS yang dimasukkan dalam film Tanabe meliputi Lifebuoy Lima Kali Sehari yaitu menggunakan sabun Lifebuoy di lima kesempatan penting: saat mandi, mencuci tangan sebelum makan pagi, mencuci tangan sebelum makan siang, mencuci tangan sebelum makan malam, mencuci tangan setelah ke toilet.

Popout
Video Tanah Air Beta

Diakuinya, Lifebuoy bekerjasama produser Alenia melalui film ini, karena target sasaran keluarga terutama anak-anak, dimana target utama program Lifebuoy juga adalah anak-anak. Selain itu, film ini mengandung nilai-nilai positif seperti cinta tanah air, persaudaraan, toleransi antar etnis dan agama, dan juga memberikan contoh budaya hidup sehat seperti cuci tangan pakai sabun. Juga kerjasama ini lantaran adanya kesamaan visi dan misi dalam rangka pencerdasan dan edukasi generasi muda lewat media film.

Lifebouy juga mengajak masyarakat untuk terlibat secara nyata dalam membantu kampanye PHBS ini. Setiap pembelian satu tiket bioksop film Tanabe, Lifebuoy akan menyisihkan Rp100,- untuk mendukung kampanye PHBS ini. Donasi yang terkumpul nanti akan digunakan untuk melanjutkan program revitalisasi Posyandu di NTT.

Dalam donasi ini, Lifebuoy bekerjasama dengan Tim Pengerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Pusat dan Daerah untuk mendapatkan jangkauan lebih luas mengenai penyebaran pesan kesehatan tersebut. Dan Lifebuoy memilih NTT karena NTT salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki angka kematian balita sangat tinggi. Donasi Lifebuoy tahun 2010, merupakan kelanjutan dari upaya revitalisasi posyandu di NTT yang telah dimulai oleh Lifebuoy sejak tahun 2009.

“Dengan memberikan bantuan dana untuk merevitalisasi posyandu di NTT, Lifebuoy berharap langkah kecil yang kami lakukan ini dapat memperbaiki tingkat kesehatan dan menekan angka kematian balita di wilayah NTT,” jelas Erwin.

Selain itu, Lifebuoy juga memberikan kesempatan kepada masyarakat Indonesia untuk nonton bareng film Tanabe melalui program penukaran bungkus kosong sabun batang Lifebuoy. Sebanyak lima (5) bungkus sabun batang Lifebuoy dapat ditukar satu tiket bioskop jaringan Cinema 21 dan Blitzmegaplex. Film Tanah Air Beta tayang secara serentak di seluruh bioskop Indonesia sejak 17 Juni 2010. (endy)


Jenis Film : Drama keluarga
Produser : Ari Sihasale
Produksi : Alenia Pictures
Pemain : Alexandra Gottardo, Asrul Dahlan, Griffit Patricia, Yahuda Rumbindi, Lukman Sardi, Ari Sihasale, Robby Tumewu, Thessa Kaunang
Sutradara : Ari Sihasale
Penulis : Armantono
Ilustrasi musik : Aksan Sjuman dan Titi Sjuman
Durasi : 90 menit

Popular Posts

close
Gabung Grup Facebook Kami