Langsung ke konten utama

Kemampuan Mengontrol Diri Berkorelasi Dengan Agresivitas Peserta Kampanye Pemilu

Kemampuan Mengontrol Diri Berkorelasi Dengan Agresivitas Peserta Kampanye Pemilu

Hubungan Antara Kemampuan Mengontrol Diri Dengan Agresivitas Pada Peserta Kampanye Pemilu


Secara umum , Brehm & Kassin (Susetyo, 1999) mendefinisikan agresivitas sebagai perilaku yang dimaksudkan untuk melukai orang lain. Kenyataannya perlu untuk menarik garis pemisah antara individu-individu yang agresif dan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi yang agresif. Tindak kekerasan dapat muncul dari segala macam kelompok: mulai dari kelompok informal dan tanpa struktur, seperti gerombolan massa hingga kelompok-kelompok kompleks dan hierarkis, seperti perusakan-perusakan besar. Ini dapat berkisar dari huru-hara jalanan dengan melempari polisi, pemasangan bendera yang cenderung mencuri start kampanye itu hingga sangat sensitif terjadinya bentrok massa, begitu pula kelompok-kelompok dapat terlibat agresif: geng-geng jalanan dapat mengobarkan teror dengan ancaman-ancaman maupun gosip-gosip yang dapat menyulut kerusuhan pada waktu jalannya kampanye parpol pemilu.
Agresivitas peserta kampanye pernah terjadi di Bali. Ulang tahun ke-39 Partai Golkar diperingati di sebuah lapangan di Denpasar. Peringatan dihadiri Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung, beberapa petinggi partai lainnya, dan enam calon presiden dari partai tersebut. Konvoi simpatisan dan kader Golkar diserang oleh kelompok yang berseragam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sekurang-kurangnya empat orang luka, empat mobil dan satu truk konvoi dirusak. Keesokan harinya, kerusuhan berulang di Singaraja, Kabupaten Buleleng. Terjadi lagi bentrokan antara kelompok Partai Golkar dan kelompok PDI-P. Dalam bentrokan itu dua orang tewas, keduanya dari Partai Golkar (Kompas, 2003).
Terjadi pengalaman masa kampanye pada Pemilu 1999 lalu, di sejumlah daerah massa PKB dan PPP sering terjadi bentrok hingga menelan korban jiwa. Jika pada masa kampanye Pemilu 2004 tidak diantisipasi sejak dini, tidak menutup kemungkinan kasus 1999 bisa terulang lagi (Kedaulatan Rakyat, 2004).
Moyer (Susetyo, 1999) mengemukakan bahwa agresivitas berkaitan dengan kurangnya kontrol terhadap emosi dalam diri individu. Emosi yang meledak-ledak biasanya diwujudkan dalam bentuk amarah. Weiner (Sears, Freedman & Peplau, 1991) menyatakan bahwa amarah akan muncul bila serangan atau frustasi yang dialami dianggap sebagai akibat pengendalian internal dan pribadi orang lain. Hal ini dapat diminimalisasi dengan orientasi religius pada faktor kemampuan mengontrol diri. Dimana orientasi religius merupakan salah satu yang mempengaruhi kondisi internal masing-masing individu. Bergin (1980) berpendapat bahwa orientasi religius dapat memiliki beberapa konsekuensi positif, termasuk terhadap variabel kepribadian seperti kecemasan, kontrol diri, keyakinan irasional, depresi, affect dan sifat kepribadian yang lain.
Donnerstein (Sugiyanto, 1998) mengungkapkan bahwa tindak kekerasan sebagai salah satu bentuk agresivitas merupakan problem yang amat menyita sejumlah besar kehidupan manusia dan berlangsung terus-menerus tanpa henti-hentinya. Dilanjutkan dengan pernyataan Sugiyanto (1998), pandangan berbagai pakar psikologi sosial pada umumnya agresivitas mengandung bahaya yang berakibat kecelakaan dan kerugian bagi orang atau pihak lain.
Baron dan Byrne (1991) menyatakan bahwa agresivitas karena perilaku belajar sosial, yaitu dimana agresivitas timbul karena individu banyak belajar dari pengalaman dalam kehidupannya di lingkungan sosial dan tindakan agresif melalui orang lain sebagai model. Individu belajar hidup dari lingkungan sosial yang berawal dari lingkungan keluarga terutama orang tua. Seperti faktor dai kemampuan mengontrol diri yang dikemukakan oleh Hurlock (1991) menyatakan bahwa disiplin yang diterapkan orang tua merupakan hal penting dalam kehidupan karena dapat mengembangkan self control dan self direction, sehingga seseorang dapat mempertanggungjawabkan dengan baik segala tindakan yang dilakukannya.
Perilaku agresif individu tersebut salah satunya disebabkan oleh kepentingan kelompok yang harus di penuhi tanpa mempedulikan tindakan yang dilakukan sesuai atau tidak dengan norma yang berlaku. Pengendalian diri atau kontrol diri yang kurang merupakan salah satu hal yang memunculkan tindakan yang tidak sesuai dengan norma tersebut yang berwujud kekerasan atau agresi.
Kontrol diri sebagai cara individu untuk untuk mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya (Hurlock, 1991). Kontrol diri merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan dan digunakan individu selama proses-proses dalam kehidupan, termasuk dalam menghadapi kondisi yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya. Para ahli berpendapat bahwa selain dapat mereduksi efek-efek yang negatif dari stresor-stresor lingkungan, kontrol diri juga dapat digunakan sebagai suatu intervensi intervensi yang bersifat pencegahan (Zulkarnain, 1997).
Bentuk-bentuk dari agresivitas yaitu agresi fisik, agresi verbal, kemarahan (Anger) dan kecurigaan (Hostility). Agreai fisik dan agresi verbal dapat dikontrol dengan kemampuan mengontrol perilaku, sehingga individu dapat mengontrol dirinya dengan baik dan diharapkan mampu mengatur perilaku dengan kemampuan dirinya. Contohnya : walaupun individu dipukul oleh seseorang, dia tidak akan membalasnya. Selain itu agresi fisik dan agresi verbal juga dapat dikontrol dengan kemampuan mengontrol stimulus sehingga dapat menghadapi stimulus agresivitas yang tidak diinginkan. Contohnya : ketika individu dihadapkan suatu perselisihan maka individu tersebut akan mengontrol dirinya dengan menyelesaikan perselisihan tanpa pertengkaran.
Kemarahan (Anger) dapat dikontrol dengan kemampuan mengantisipasi peristiwa, sehingga kemarahan dapat dikendalikan dengan cara mengantisipasi keadaan melalui mermagai pertimbangan secara relative objektif . Contohnya : individu tetap diam walaupun diejek oleh teman separpol sehingga tidak menambah keruh suasana.
Sedangkan kecurigaan (Hostility) dapat dikontrol dengan kemampuan menafsirkan peristiwa, hal ini karena adanya kemampuan menilai dan penafsiran suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif. Contohnya : individu merasa ada sebagian orang menatapnya dengan sinis, kecurigaan itu tidak akan terjadi jika individu selalu berpikir positif terhadap orang lain. Selain itu kecurigaan juga dapat dikontrol dengan kemampuan mengambil keputusan, karena hal ini didukung dengan adanya kemampuan untuk memilih suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujui. Contohnya : individu merasa orang dari parpol lain tidak bersahabat, kecurigaan itu tidak akan terjadi jika individu yakin pada dirinya bahwa menjalin hubungan atau teman dari parpol lain tidak akan merugikan dirinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas yaitu kebiasaan belajar, kondisi internal, faktor penghambat, faktor situasional. Salah satu faktor dari agresivitas yaitu kondisi internal, meliputi adanya insting agresivitas abnormalitas secara fisiologis, reaksi emosi penolakan (frustasi, marah, takut dan sakit), efek minuman keras dan faktor bawaan sejak lahir. Keadaan tersebut bisa saja terjadi karena manusia tidak mampu menahan suatu penderitaan yang menimpa dirinya. Ketidakmampuan dalam menahan suatu penderitaan yang menimpa dirinya tersebut dapat dinyatakan sebagai ketidakmampuan dalam mengontrol diri, sehingga kemampuan mengontrol diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas.
Kemampuan mengontrol diri mempengaruhi agresivitas jadi aspek-aspek dari control diri juga mempengaruhi agresivitas; diantaranya : apabila kemampuan mengontrol perilaku tinggi mempunyai agresivitas rendah, kemampuan mengontrol stimulus tinggi mempunyai agresivitas rendah, kemampuan mengantisipasi peristiwa tinggi mempunyai agresivitas rendah, kemampuan menafsirkan peristiwa tinggi mempunyai agresivitas rendah, dan kemampuan mengambil keputusan tinggi mempunyai agresivitas rendah.
Sebaliknya apabila kemampuan mengontrol perilaku rendah mempunyai agresivitas tinggi, kemampuan mengontrol stimulus mempunyai agresivitas tinggi, kemampuan mengantisipasi peristiwa rendah mempunyai agresivitas tinggi, kemampuan menafsirkan peristiwa rendah mempunyai agresivitas tinggi, dan kemampuan mengambil keputusan rendah mempunyai agresivitas tinggi. Hal ini didukung dengan penelitian Slaby dan Guerra (Anwar, 1998) menunjukkan bahwa individu dengan tingkat agresivitas yang tinggi berhubungan dengan kemampuan mereka dalam mengatasi permasalahan yang rendah.
Setiap individu memiliki suatu mekanisme yang dapat membantu mengatur dan mengarahkan perilaku. Sebagai salah satu sifat kepribadian, kontrol diri pada suatu individu dengan individu yang lain tidaklah sama. Ada individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi dan ada individu yang memiliki kontrol diri yang rendah. Individu yang memiliki kontrol yang tinggi mampu mengubah kejadian dan menjadi agen utama dalam mengarahkan dan mengatur perilaku yang membawa kepada konsekuensi yang positif ( Hidayat, 2004).
Pengendalian emosi berarti mengarahkan energi emosi ke saluran ekspresi yang bermanfaat dan dapat diterima secara sosial. Dengan adanya kontrol diri yang baik, maka akan menghindarkan individu dengan tindakan agresif yang akan merugikan diri sendiri. Masyarakat kini semakin kritis, sehingga sesuatu yang atraktif akan mampu membangun kesan yang baik. Sebaliknya massa yang brutal, sangar, dengan tindakan yang provokatif dan pamer kekuatan yang cenderung menganut kekerasan, dikarenakan kurang kontrol diri dan agresivitasnya yang tinggi hanya akan merugikan partai politik itu sendiri. Mudah-mudahan segala bentuk kekerasan dapat dihindari dalam kampanye mendatang. Kampanye yang sejuk dan damai harus menjadi tujuan dan cita-cita setiap individu.

Popular Posts

close
Gabung Grup Facebook Kami